Jalan menuju pembebasan yang diajarkan oleh para Karmapa berawal mula di India dan Tibet lebih dari 25 abad silam. Jejaknya dimulai pada abad ke-6 SM di India Tengah, ketika seorang pangeran muda duduk di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya untuk bermeditasi dan pada akhirnya bangkit sebagai seorang Buddha – seseorang yang telah mencapai tahap tertingginya atas pencerahan yang lengkap dan sempurna.

Memutuskan untuk Terlahir Kembali

Sang calon Buddha mengambil kelahiran kembali untuk yang terakhir kalinya sebagai Pangeran Siddartha Gautama, yang turun dari alam surga Tuşita untuk memasuki rahim Mahāmāyā. Pada malam pembuahan, ibunya, sang ratu kerajaan Śākya di India Utara, memimpikan seekor gajah putih dengan enam gading. Pada saat dalam perjalanan menuju ke rumah orang tuanya dari tempat tinggalnya di Kapilavastu, Ratu Mahāmāyā melahirkan beliau dengan mudah, memegang sebuah cabang pohon di hutan kecil dekat kota Lumbinī.Sebagaimana kebiasaan pada waktu itu, para pertapa dipanggil untuk meramalkan tanda-tanda yang ada pada tubuh anaknya sebagai pertanda kondisi masa depan sang anak. Mereka memperkirakan dua kemungkinan dalam masa depan hidupNya : jika beliau tetap di istana, beliau akan menjadi maharaja agung yang termashyur, jauh melampaui ketenaran ayahnya dalam lingkup negerinya. Atau, jika beliau pergi meninggalkan istana sebagai seorang pertapa pengembara, beliau akan menjadi seorang Buddha.


Penggambaran Kecakapan dan Pernikahan

Sebagai hasil dari ramalan tersebut, ayah pangeran muda ini bersusah payah untuk mempertahankan masa depan negerinya. Untuk itu, ia berusaha untuk melindungi anaknya dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang mungkin dapat memicu keinginan untuk meninggalkan tugasnya sebagai pangeran dan berusaha memuaskan sang pangeran dengan berbagai kesenangan yang dapat mengikat dirinya dengan kehidupan kerajaan.


Pencarian Agung

Didorong oleh rasa ingin tahu tentang kehidupan di luar dinding istana, Siddhartha mengambil kesempatan pergi menyelinap untuk menjelajahi pelosok kota. Dalam kondisi yang tanpa pengawasan, secara berturut-turut ia langsung dihadapkan dengan tiga tanda-tanda dari penderitaan mendalam yang merupakan bagian inti dari kehidupan sebagai manusia yaitu : penyakit, penuaan dan kematian. Setelah itu, beliau bertemu dengan seorang pertapa pengembara, yang kehadirannya menunjukkan kepada Siddhartha muda mengenai adanya sebuah kemungkinan baru : bahwa mungkin terdapat solusi untuk penderitaan, bagi mereka yang mencarinya.

Pada kesempatan berikutnya, setelah malam pesta pora yang meriah di istana, kesadaran pangeran Siddhartha dalam penolakan berbagai kesenangan dunia yang hampa muncul dengan kekuatan yang lebih besar, dan beliau memutuskan pergi malam itu juga. Beliau meminta kusirnya untuk membantunya melarikan diri di bawah naungan kegelapan, dan mereka berhasil berangkat tanpa terdeteksi, para dewa mengangkat kuku kudanya untuk meredam suara mereka.

Menoleh untuk terakhir kalinya ke kota Kapilavastu, Siddhartha bertekad untuk tidak kembali sampai ia telah membebaskan diri sepenuhnya dari siklus kelahiran dan kematian. Mengirim kusirnya kembali sendirian, Siddharta memotong rambutnya di “Stupa Kemurnian”, mengawali tahap akhir dari pencarian beliau dalam banyak kehidupan untuk mencapai pencerahan.

Quotes:
“Jangan berbuat walau hanya satu kejahatan,
Libatkan dirimu dalam kebajikan yang unggul.
Serta jinakkanlah batinmu sepenuhnya,
Inilah ajaran para Buddha.”
– Sri Jina Sakyamuni –